A. Pengertian Kurikulum
Setiap
orang, kelompok
masyarakat, atau
bahkan ahli pendidikan dapat mempunyai penafsiran yang
berbeda tentang
pengertian kurikulum. Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh banyak ahli, dapat disimpulkan bahwa
pengertian kurikulum
dapat ditinjau dari dua
sisi
yang berbeda, yakni menurut pandangan lama dan pandangan baru
(Oemar Hamalik,
2007)
Pandangan lama, atau sering juga disebut pandangan tradisional, merumuskan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh murid untuk memperoleh
ijazah. Pengertian tadi mempunyai implikasi sebagai berikut: (1) kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran; (2) mata
pelajaran adalah sejumlah informasi atau pengetahuan, sehingga penyampaian mata
pelajaran
pada
siswa akan membentuk mereka menjadi manusia yang
mempunyai kecerdasan berpikir; (3) mata pelajaran menggambarkan kebudayaan masa
lampau; (4) tujuan mempelajari mata pelajaran adalah
untuk memperoeh ijazah, (5) adanya aspek keharusan bagi setiap siswa untuk
mempelajari mata pelajaran yang
sama; (6) sistem penyampaian yang digunakan oleh guru adalah sistem penuangan
(imposisi).
Sebagai perbandingan, ada
baiknya kita
kutip pula pendapat lain, seperti yang dikemukakan oleh
Romine (1954) . Pendapat ini dapat
digolongkan sebagai pendapat yang baru (modern), yang
dirumuskan sebagai berikut:
“Curriculum is interpreted
to mean allof the organized courses,
activities, and experiences which
pupil have under direction of the
school, whether in the clasroom
or not”
Implikasi perumusan di atas adalah sebagai berikut: (1) tafsiran tentang
kurikulum bersifat luas,
karena kurikulum bukan hanya terdiri atas mata pelajaran (courses) tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang
menjadi tanggung jawab sekolah; (2) tidak ada pemisahan antara intra dan ekstra
kurikulum; (3) pelaksanaan kurikulum tidak hanya dibatasi pada keempat dinding
kelas saja, melainkan dilaksanakan baik didalam maupun
diluar kelas, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai; (4) sistem penyampaian yang
dipergunakan oleh guru disesuaikan dengan kegiatan
atau pengalaman yang akan disampaikan, oleh karena itu guru
harus mengadakan berbagai kegiatan belajar mengajar yang
bervariasi , sesuai
dengan kondisi siswa; (5)
tujuan penididikan bukanlah untuk
menyampaikan mata
pelajaran (courses) atau bidang pengetahuan yang tersusun (subject),
melainkan
pembentukan pribadi anak
dan belajar cara
hidup di dalam masyarakat.
1. Kurikulum
Sebagai
Suatu
Program
Kegiatan Yang Terencana.
Berdasarkan pandangan komprehensif
terhadap
setiap
kegiatan yang direncanakan
untuk dialami seluruh siswa, kurikulum berupaya menggabungkan ruang
lingkup, rangkaian, interpretasi, keseimbangan subject matter, teknik mengajar, dal lain-lain yang
dapat direncanakan
sebelumnya (Saylor,
Alexander,
dan
Lewis, 1986).
2. Kurikulum
sebagai Hasil Belajar yang Diharapkan
Kajian ini menekankan perubahan cara pandang kurikulum, dari kurikulum sebagai alat
(means) menjadi kurikulum sebagai tujuan atau akhir yang akan
dicapai (ends).
3. Kurikulum
sebagai Reproduksi
Kultural (Cultural Reproduction)
Pengembangan
kurikulum semacam
ini
dimaksudkan
untuk meneruskan nilai-nilai
kultural
kepada generasi penerus, melalui lembaga penerus.
4. Kurikulum
sebagai Kumpulan
Tugas
dan konsep Diskrit,
Pandangan ini
berpendapat bahwa kurikulum merupakan satu kumpulan tugas dan konsep (discrete tasks and cocept) yang harus dikuasai siswa. Penguasaan
tugas-tugas yang saling bersifat diskrit (berdiri sendiri) tersebut adalah
untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
5. Kurikulum
sebagai Agenda Rekonstruksi Sosial
Pandangan ini berpendapat bahwa
sekolah
harus mempersiapkan suatu agenda pengetahuan dan
nilai-nilai
yang diyakini dapat menuntun siswa memperbaiki
masyarakat dan institusi kebudayaan, serta
berbagai keyakinan
dan kegiatan praktik yang menukungnya.
6. Kurikulum
sebagai Curere
Pandangan yang
menekankan
pada bentuk kata
kerja kuikulum
itu sendiri, yaitu
curere. Sebagai pengganti interpretasi
dari etimologi
arena pacu atau lomba (race course) kurikulum, curere merujuk pada jalannya lomba dan menekankan masing-masing
kapasitas individu untuk mengkonseptualisasi
otobiografinya sendiri.
Masing-masing individu berusaha menemukan pengertian (meaning) ditengah-tengah berbagai peristiwa terakhir yang dialaminya,
kemudian
bergerak secara historis ke dalam pengalamannya
sendiri di masa lampau untuk
memulihkan dan membentuk kembali pengalaman semula (to
recover and
reconstitute the origins), serta membayangkan dan menciptakan
berbagai arah yang saling bergantung
dengan subdivisi-subdivisi pendidikan
lainnya.
Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi
populer sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang
memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu
telah dikenal orang
di luar pendidikan. Sebelumnya yang
lazim digunakan adalah “rencana pelajaran”. Pada
hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana
pelajaran. Hilda
Taba dalam bukunya Curriculum Development, Theory and
Practise mengartikan sebagai “a plan for learning”, yakni sesuatu yang direncanakan
untuk pelajaran anak.
Beberapa
pengertian
Kurikulum :
a. Pengertian Kurikulum secara Etimologis
Secara etimologis istilah kurikulum yang
dalam bahasa Inggris ditulis
“curriculum” berasal dari bahasa Yunani yaitu “curir” yang berarti
“pelari”, dan “curere” yang
berarti “tempat berpacu”. Tidak
heran
jika
dilihat dari arti harfiahnya, istilah kurikulum
tersebut pada awalnya digunakan dalam
dunia
Olah raga, seperti bisa
diperhatikan
dari arti “pelari dan tempat berpacu”, yang mengingatkan kita
pada jenis olah raga Atletik.
b. Pengertian Kurikulum berdasarkan Istilah
Berawal dari makna “curir” dan
“curere” kurikulum berdasarkan istilah diartikan
sebagai “Jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk
memeroleh medali atau penghargaan”.
Pengertian tersebut kemudian diadaptasikan ke dalam dunia pendididikan
dan diartikan sebagai “Sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal hingga akhir program demi
memeroleh
ijazah”
c. Kurikulum
menurut Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003
Menurut UU no. 20 tahun 2003, kurikulum adalah “Seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Bab I
Pasal 1
ayat 19).
(Sumber :Juliper Simanjuntak.2015
)
B.
Peranan Kurikulum
Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara
sistematis mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan para siswa.
Ada tiga jenis peranan kurikulum yang dinilai sangat penting, yaitu:
a. Peranan
Konservatif
Peranan yang dimana salah satu tanggung
jawab kurikulum adalah mentranmisikan dan mentafsirkan warisan sosial kepada
generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial yang dapat
mempengaruhi dan membina tingkah laku para peserta didik yang sesuai dengan
nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat.
b. Peranan Kritis
dan Evaluatif
Kebudayaan senantiasa berubah dan
bertambah, sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang adamelainkan juga
menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan.Dalam hal ini kurikulum berpartisipasi
dalam kontrol sosial dan menekankan pada unsur berfikir kritis.
c. Peran Kreatif
Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan
kreatif dan konstruktif, dalam arti mencipta dan menyusun yang baru sesuai
dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat.
C.
Fungsi Kurikulum
Disamping kurikulum memiliki peranan, juga kurikulum mengemban atau
memiliki atau mengemban berbagai fungsi. Berkaitan dengan fungsi kurikulum
sebagai subjek didik, terdapat enam fungsi kurikulum, yaitu :
a. Fungsi
Penyesuaian (The adjustive of adaftive function)
Fungsi penyesuaian mengandung makna
bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar
memiliki sifat well adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu
sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Oleh karena itu,
siswa pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
yang terjadi di lingkungannya.
b. Fungsi
Pengintegrasian (The integrating function)
Fungsi integrasi mengandung makna bahwa
kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang
utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari
masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan
untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.
c. Fungsi
Difereansiasi (The differentiating function)
Fungsi diferensiasi mengandung makna
bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan
terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari
aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.
d. Fungsi
Persiapan (The propaedeutic function)
Fungsi persiapan mengandung makna bahwa
kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk
melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga
diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat
seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
e. Fungsi
Pemilihan (The selective function)
Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa
kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada
siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan
minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi
diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti
pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai
dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut,
kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel.
f. Fungsi
Diagnostik (The diagnostic function)
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum
sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat
memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya.
Apabila siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan
yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri
potensi kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
D. Perkembangan
Kurikulum Pendidikan IPS Di
Indonesia
IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu
tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu,
disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri.
2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for
Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan
“Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat
terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik,
ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut meliputi: Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
1.
Ilmu Sosial (Social
Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2)
adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan
sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan
tinggi, makin lanjut makin ilmiah”. Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1),
Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai
makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat
dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun
tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu
yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota
masyarakat.
2.
Studi Sosial (Social
Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang
keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang
pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad
Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu
bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi
siswa sejak pendidikan dasar.
3.
Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika
Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social Studies”. Istilah
tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee
of Social Studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian
lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada
kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial
yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for
Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the
integrated study of the science and humanities to promote civic competence.
Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic
study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography,
history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and
sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and
natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people
develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good
as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi
batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner
(Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan
integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi
budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan
sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS
merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah
mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi,
politik.
E. Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan IPS di Indonesia
Latar belakang dimasukkannya bidang studi
IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris
dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi
kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI,
yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan
tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada
masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah
tersebut antara lain:
1.
Kuantitas, berkenaan
dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2.
Kualitas, menyangkut
peningkatan mutu lulusan
3.
Relevansi, berkaitan
dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4.
Efektifitas sistem
pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5.
Pembinaan generasi muda
dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan
kurikulum kembali yangn dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan Sosial. Pengembangan
kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan
dan kebutuhan setempat.
Rasional Mempelajari IPS.
Rasionalisasi mempelajari IPS untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah agar siswa dapat:
a. Mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah
dimiliki tentang manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna.
b.
Lebih peka dan tanggap
terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab.
c.
Mempertinggi rasa
toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia.
IPS atau disebut Pengetahuan Sosial pada
kurikulum 2004, merupakan satu mata pelajaran yang diberikan sejak SD dan MI
sampai SMP dan MTs. Untuk jenjang SD dan MI Pengetahuan Sosial memuat materi
Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan.
F. Landasan Filosofis Pendidikan IPS Dalam Kurikulum Pendidikan Di Indonesia
Bangsa Indonesia dilihat dari latar belakang
etnik atau kesukuan merupakan sebaran suku-suku bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia dengan disatukan sebagai bangsa yang mempunyai latar belakang keaneka
ragaman bahasa daerah, budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masing-masing
etnik. Secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang
majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagaian dari masyarakat
yang pluralistik.
Dengan kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan
pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memiliki peran yang strategis baik
ditinjau dari segi akademik maupun kepentingan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dilihat dari sisi akademik pendidikan dan pengajaran IPS dapat
membekali anak didik atau siswa pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu –ilmu
sosial sebagai basis dari pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang lembaga
pendidikan atau persekolahan.
Pendidikan dan pengajaran IPS di Indonesia sudah
mendapatkan landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang pada Bab III Pasal 2
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik
Indonesia yang menegaskan bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam
rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Dengan dasar tersebut diatas pada kurikulum pendidikan
dan pengajaran dibawah naungan Pendidikan Nasional terdapat kebijakan kurikulum
mata pelajaran IPS , misalnya Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang standar
isi satuan Pendidikan dasar dan Menengah, sedangkan untuk lembaga pendidikan
tinggi melalui surat Dirjen Dikti Nomor 30/DIKTI/KEP/2003, telah ditetapkan
rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat di
Pergurtuan Tinggi.
Untuk Pendidikan dan Pengajaran IPS pada satuan
Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/Mts) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005, termasuk didalamnya kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian, pengajaran pada satuan pendidikan IPS diberikan secara terpadu.
Pada tingkat SMA/MA pelajaran IPS bermuatan akademis dan masuk pada kelompok
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
- Kajian Teoritis Landasan Filosofis Kurikulum
Pendidikan IPS
Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki
landasan filosofis, dimaksudkan agar memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam
implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung suatu nilai-nilai atau
cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah landasan,
yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan
kata lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.
Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang
tujuan pendidikan, prinsif – prinsif pembelajaran, serta perangkat
pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh
dua hal pokok (1) Cita-cita masyarakat dan (2) kebutuhan peserta didik yang
hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai filsafat Pendidikan harus dilaksanakan
dalam prilaku kehidupan sehari-hari. Dari sekian banyak alternatif landasan
utama dalam mengembangkan kurikulum pendidikan salah satunya adalah Landasan
Filosofis.
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis
kurikulum, Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik
Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai berikut :
a.
Esensialisme
Esensialisme; adalah
aliran yang menggariskan bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan
ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan
keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah
kurikulum disiplin ilmu. Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme.
Proses belajar-mengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki kemampuan
penguasaan disiplin ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih banyak berperan pada
guru jika dibandingkan dari siswa.
Sekolah yang
baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah sekolah yang mampu
mengembangkan intelektualisme siswa. Implementasi mata pelajaran IPS
menurut aliran esensialisme akan lebih menekankan IPS pada aspek kognitif
(pengetahuan) jika dibandingkan dengan aspek afektif (sikap). Siswa belajar IPS
akan lebih berorientasi pada pemahaman konsep-konsep IPS daripada penerapan
materi yang ada pada IPS bagi kehidupan sehari-hari.
b.
Perenialsme
Perenialsme; adalah
aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah
kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang
abadi, serta tidak terkait oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran
Perenialisme kurikulum akan menjadi sangat ideologis karena dengan
pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta didik sebagai warga
Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh
Negara. Pandangan perenialisme lebih menekankan pada Transfer Budaya (transfer
of culture), seperti dalam Implementasinya pada kurikulum IPS yang
bertujuan pada pengembangan dan pembangunan jati diri bangsa peserta didik
dalam rangka menuju tercapainya integrasi bangsa. Aliran ini juga dikenal
menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran universal yang tidak terikat
pada ruang dan waktu, aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
c.
Progresivisme
Progresivisme; adalah
aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni kecerdasan yang
praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang
disajikan oleh guru atau pendidik. Masalah tersebut biasanya ditemukan
berdasarkan pengalaman siswa. Pembelajaran yang harus dikembangkan oleh aliran
Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh
latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai
warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki
kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi IPS
dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran
IPS mampu membekali kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan,
pengangguran, kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan
lainnya.
d.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme; adalah
aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus diarahkan kepada pencapaian
tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar setiap
individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu
mengembangkan pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan
kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran
guna memproduksipengetahuan baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih
menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu menemukan (inquiri),
penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan bacaan yang ia
lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas
siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
Dalam
implementasi pembelajaran IPS , misalnya siswa mempelajari fakta-fakta
disekelilingnya, berdasarkan fakta tersebut siswa menemukan definisi mengenai
sesuatu, tanpa harus didefinisikan terlebih dahulu oleh guru. Misalnya dalam
pelajaran ekonomi diperkenalkan adanya fakta orang-orang yang mekakukan
kegiatan jual – beli. Setelah melihat aktivitas orang-orang tersebut akhirnya
siswa menemukan definisi mengenai penjualan, pembelian, penawaran, pasar, uang
dan lainnya dalam aktivitas jual-beli. Dengan demikian guru tidak menjelaskan
atau membuat definisi, tetapi dari fakta-fakta tersebut siswalah yang aktif
melihat fakta dan dapat mendifinisikannya.
- Landasan Filosofis Guru IPS dalam Perubahan Zaman.
Perkembangan zaman menuntut perubahan sosial di semua
lapisan masyarakat, kemajuan informasi dan teknologi global merambah negara
maju dan negara sedang berkembang termasuk Indonesia saat ini. Untuk
mengimbangi perkembangan dan kemajuan tersebut profil guru harus mampu
melakukan seleksi aneka kecenderungan siswa dalam mengarahkan proses belajar-
mengajar pendidikan IPS. Guru IPS harus pandai memanfaatkan sumber-sumber
informasi dari media massa modern dan peralatan teknologi pengajaran, tetapi
tetap dalam koridor kurikulum yang dipakai saat ini guru senantiasa mengikuti
perkembangan dan perubahan – perubahan yang terjadi.
Secara sadar atau tidak guru IPS ikut aktif dalam
tatanan kerja masa transisi yang sedang populer saat ini dalam kemajuan belajar
melalui Informasi Teknologi, paling tidak guru IPS harus dipertautkan
kembali dalam keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya
dalam bidang pendidikan. Ada dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama
sikap reaksioner ; adalah aliran yang paling hati-hati dan takut
kepada pembaharuan; dan kedua sikap Radikal ;adalah sikap paling
keranjingan atau mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap
ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam pendekatan pribadi dapat menempati
salah satu empat titik utama yang terletak diantara dua ekstreminitas
tersebut.
N. Daldjoeni dalam buku beliau “Dasar-dasar Ilmu
Pengetahuan Sosial” (1992: 37 – 38) merincikan Empat Titik Utama secara
filosofis bagi kinerja guru IPS dalam melakukan seleksi diantara dua
ekstreminitas perkembangan dan perubahan zaman tersebut adalah sebagai berikut
:
a)
Perenialisme; itu
berdasarkan keyakinan adanya kebenaran yang sifatnya abadi dan mutlak.
Sehubungan dengan itu sekolah bertugas membantu para siswa menemukan
kebenaran-kebanaran itu. Faham ini berakar pada filsafat Thomas Aquino.
b)
Esensialisme; berisi
faham bahwa ada hakekat-hakekat minimum tertentu yang harus dipertahankan
sekolah. Hakekat tersebut dapat berubah-ubah dalam rentangan zaman, tetapi
untuk masa tertentu hakekat itu merupakan endapan dari pengetahuan dan
kebijaksanaan yang berasal dari masa lampau. Inilah yang perelu diterimakan
kepada generasi sekarang di sekolah.
c)
Progresivisme; beretalian
dengan faham William James dan John Dewey tentang faham ‘pragmatisme’,
dimana penyelelidikan sesuatu harus dilakukan secara ilmiah. Dalam hal itu
sekolah merupakan pendahulunya.
d)
Rekonstruksionisme; meskip
ini mirip dengan Progresivisme, akan tetapi lebih maju lagi, karena
secara konkrit ini lebih mendekati tujuan yang diidamkan oleh
progresivisme. Karena itu sekolah diharapkan menjadi pelopor usaha pembaharuan
masyarakat. Filsafat ini dari Theodore Brameld.
G. Upaya Pembaharuan Pendidikan IPS di Indonesia
Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam sistem
pendidikan di Indonesia baru dikenal sejak lahirnya kurikulum tahun 1975.
Sebelumnya, pembelajaran ilmu-ilmu sosial untuk tingkat persekolahan menggunakan
istilah yang berubah-rubah sesuai dengan situasi politik pada masa itu.
Pembaharuan kurikulum IPS di Indonesia diantaranya:
1.
Kurikulum 1964
Kurikulum
1964 menggunakan istilah Pendidikan Kemasyarakatan. Ada dua kelompok mata
pelajaran, ialah kelompok dasar yang terdiri atas Sejarah Indonesia, Bahasa
Indonesia dan Civics dan kelompok cipta yang terdiri atas Sejarah Dunia dan
Geografi Dunia. Dan kemudian digabungkan selanjutnya berubah menjadi Pendidikan
Kewargaan Negara yang merupakan korelasi dari ilmu bumi, sejarah dan
pengetahuan Kewargaan Negara.
2.
Kurikulum 1968
Pada tahun
1968 terjadi perubahan pengelompokkan mata pelajaran sebagai perubahan
orientasi pendidikan. Mata pelajaran disekolah dibedakan menjadi pendidikan
jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar dan pembinaan kecakapan khusus.
3.
Kurikulum 1975
Pada tahun
1975, lahirlah kurikulum 1975 yang mengelompokkan tiga jenis pendidikan, yakni
pendidikan umum, pendidikan akademis dan pendidikan keahlian khusus. Dalam
kurikulum 1975 dikemukakan secara eksplisit istilah mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) yang merupakan fusi (perpaduan) dari mata pelajaran
sejarah, geografi dan ekonomi. Selain mata pelajaran IPS, Pendidikan
Kewarganegaraan dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri ialah Pendidikan
Moral Pancasila (PMP).
Dalam
kurikulum 1975, IPS termasuk kelompok pendidikan akademis sedangkan PMP
termasuk kelompok pendidikan umum. Namun IPS sebagai pendidikan akademis
mempunyai misi menyampaikan nilai-nilai berdasarkan filsafat pancasila dan UUD
1945. Dengan demikian mata pelajaran IPS pun berfungsi dan mendukung
tercapainya tujuan PMP.
4.
Kurikulum 1984
Menjelang
adanya perbaikan Kurikulum 1975, tahun 1980 muncul bidang studi PSPB, gagasan
dari Mendikbud mata pelajaran ini hampir sejenis dengan IPS Sejarah dan PMP.
Upaya perbaikan Kurikulum IPS 1975 (KYD) baru terwujud pada tahun 1984.
Kurikulum
IPS 1984 pada hakikatnya menyempurnakan atau memperbaiki kelemahan-kelemahan
Kurikulum 1975. Ditinjau dari segi pendekatan (metodologi) pembelajaran,
Kurikulum IPS1975 dan 1984 menggunakan pendekatan integrative dan structural
untuk IPS SMP dan pendekatan disiplin terpisah (separated disciplinary
approach) untuk SMA. Sedangkan pendekatan untuk IPS Sekolah Dasar (SD) lebih
mirip menggunakan integrative (integrated approach)
5.
Kurikulum 1994
Pada tahun
1994, terjadi lagi perubahan kurikulum IPS. Dalam Kurikulum 1994 dinyatakan
bahwa IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang
didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata
negara, dan sejarah. Untuk IPS SD, bahan kajian pokok dibedakan atas dua
bagian, ialah pengetahuan sosial meliputi lingkungan sosial, ilmu bumi,
ekonomi, dan pemerintahan, sedangkan bahan kajian sejarah mencakup perkembangan
masyarakat Indonesia sejak masa lampau hingga kini.
Ada
perbedaan yang cukup menonjol dalam kurikulum IPS Sekolah Dasar 1994
dibandingkan dengan Kurikulum IPS sebelumnya, yakni dalam metode dan penilaian.
Kurikulum IPS 1994 hanya memberikan anjuran umum bahwa pelaksanaan proses
belajar mengajar hendaknya para guru menerapkan prinsip belajar aktif. Dari
bunyi rambu-rambu yang terakhir ini, menunjukkan bahwa Kurikulum IPS 1994
memberikan keleluasaan atau kekuasaan otonom yang cukup besar.
6.
Kurikulum 2004
Memasuki
Abad 21 yang ditandai oleh perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan
khususnya perubahan dalam bidang politik, hukum, dan kondisi ekonomi telah
menimbulkan perubahan ekonomi yang sangat signifikan dalam sistem pendidikan di
Indonesia. Pada tahun 2003 disahkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut telah menimbulkan
dampak yang cukup signifikan terhadap perubahan sistem kurikulum di Indonesia.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai
perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan
keadaan dan kebutuhan setempat.
7.
Kurikulum 2006
Ketentuan
tentang implikasi dari peraturan perundangan tersebut adalah dikeluarkannya
kebijakan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) beserta pedomannya
dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) dengan panduan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 ini,
antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan
dan kritik ahli pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu perlunya
pendidikan Kewarganegaraan Bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan
kajiannya adalah sama yaitu membentuk warga negara yang baik, maka PKn tetap
diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS.
Rangkuman
Pandangan lama, atau sering juga disebut pandangan tradisional, merumuskan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh murid untuk memperoleh
ijazah. Pengertian tadi mempunyai implikasi sebagai berikut: (1) kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran; (2) mata
pelajaran adalah sejumlah informasi atau pengetahuan, sehingga penyampaian mata
pelajaran
pada
siswa akan membentuk mereka menjadi manusia yang
mempunyai kecerdasan berpikir; (3) mata pelajaran menggambarkan kebudayaan masa
lampau; (4) tujuan mempelajari mata pelajaran adalah
untuk memperoeh ijazah, (5) adanya aspek keharusan bagi setiap siswa untuk
mempelajari mata pelajaran yang
sama; (6) sistem penyampaian yang digunakan oleh guru adalah sistem penuangan
(imposisi).
Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara
sistematis mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan para siswa.
Ada tiga jenis peranan kurikulum yang dinilai sangat penting, yaitu: Peranan Konservatif , Peranan
Kritis dan Evaluatif, Peran Kreatif
Disamping kurikulum memiliki peranan, juga kurikulum mengemban atau
memiliki atau mengemban berbagai fungsi. Berkaitan dengan fungsi kurikulum
sebagai subjek didik, terdapat enam fungsi kurikulum, yaitu Fungsi Penyesuaian
(The adjustive of adaftive function),.Fungsi Pengintegrasian (The integrating
function), Fungsi Difereansiasi (The differentiating function), Fungsi
Persiapan (The propaedeutic function), Fungsi Pemilihan (The selective
function), Fungsi Diagnostik (The diagnostic function)
LATIHAN
1. jelaskan yang dimaksud dengan kurikulum ?
2. Jelaskan bagaimana perkembangan
Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dalam kurikulum pendidikan di
Indonesia?
3. Jelaskan landasan
filosofis yang dipakai di Indonesia sebagai konsep dasar pendidikan IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial) dapat dijadikan konsep kurikulum di tingkat jenjang
persekolahan di Indonesia ?
4. Jelaskan bagaimana
upaya pembaharuan pendidikan IPS di Indonesia?
5.
Sebutkan kompetensi dasar dan standar kompetensi pada mata pelajaran IPS kelas 1 sampai dengan kelas 6 SD.
DAFTAR
PUSTAKA.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana Studi Sosial Diajarkan,
Makalah pada Seminar Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 November 2007
Bandung: Program Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI Dipdiknas,
2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta:
Direktorat Pembinaan SMP.
Numan
Somantri, M. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: Rosda Karya.
Rachman,
Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi
Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7
Samsuri,
2009. “Mengapa Perlu Pendidikan Karakter”, Makalah, disajikan
pada
workshop tentang Pendidikan Karakter oleh
FISE UNY. Yogyakarta.
Sardiman
AM., (2006). ” Pengembangan Kurikulum Pendidikan IPS di Indonesia: Sebuah Alternatif”, Makalah, Disampaikan
pada Seminar Internasional HISPISI dengan tema: Komparasi Pendidikan IPS Antarbangsa, di
Semarang, 7-8 Januari
2006.
Soemarno
Soedarsono, 2009. Karakter Mengantarkan Bangsa dari Gelab Menuju
Terang.
Jakarta: Kompas Gramedia.
Undang-undang Republik Indonesia,No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Pen. CV Aneka Ilmu, cet. 1 tahun
2003